SUDAHI PENDERITAAN PAHLAWAN DEVISA
Oleh : Yana Mulyana (Kabiro Patroli Cianju)
Bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi,
dihormati, dan dijamin penegakannya; bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak
dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan
penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan
keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan; bahwa tenaga kerja
Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia,termasuk
perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan
atas harkat dan mertabat menusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi
manusia; bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu
upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk
memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya
dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia
dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga
kerja yang sesuai dengan hukum nasional;ini dalam pembukaan Undang _undang No
39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri. disebutkan bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi
warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan
prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan
gender anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia; sungguh indah dibaca
undang –undang tersebut, dan memberikan angin surga bagi tenaga kerja Indonesia
khusus yang bekerja diluar Negeri namun pada kenyataanya hanya sebuah
kamuflase, alias ke pura2an, untuk menutupi sebuah kenyataan yang dipelupuk
mata jelas terlihat namun yang dirasakan oleh Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Luar
Negeri khususnya di Saudi Arabia, banyak mengalami penyiksaan dari mulai
diperkosa majikan hingga hamil, penyiksaan, gaji tidak dibayar, hilang kontak
dengan keluarga, pelecehan sexsual, hingga ajal menjemput menerima hukuman
pancung dari Pemerintahan Saudi Arabia, yang selanjutnya Pemerintahan Indonesia
tidak bisa berbuat banyak hanya cukup mengucapkan turut berduka cita yang
katanya Pemerintah siap melindungi kepada Warganya, jelas disini bahwa
dibuatnya undang-undang untuk melindungi hanya sebuah kebohongan.contoh besar
Ruyati yang dihukum pancung.
Mati memang
takdir. Kematian paling indah adalah tanpa sakit dan saat ibadah. Itu yang iba
dalam kematian saudara kita Ruyati Bin Satubi di Saudi Arabia. Dia dihukum
qisas. Dipancung karena divonis bersalah. Membunuh majikan dan tidak dimaafkan
keluarganya.
Duka
mengiring kematiannya. Tidak hanya keluarga, tetapi juga segenap warga bangsa
ini. Di Sabtu yang terik, pahlawan devisa, mujahid yang berjuang untuk
keluarga, terpisah nyawa dari raganya. Beliau dieksekusi. Dipenggal kepalanya.
Kematian ini
sangat dramatis. Di tengah hukuman mati dikesankan agar tidak sadis dan tidak
barbarian (kalau tidak dihapuskan), ternyata warga kita mengalami itu.
Kematiannya lambat diketahui negara dan keluarga. Dan setelah almarhumah, baru
simpati dan sumpah-serapah terhadap negara Arab dan Indonesia mengalir
dimana-mana. Insyaallah surga bagimu saudaraku.
Ruyati
adalah ruh hati. Dia gantungan jiwa dari ayah dan ibu yang melahirkannya. Biar
hidup dalam kemiskinan di kampung, Ruyati merupakan pelita hati. Itu jika
merujuk nama ibu yang berakhir tragis di Arab Saudi ini.
Ruyati
merupakan jimat (ruqyah) bagi anak-anaknya. Pepunden yang patut jadi panutan.
Dia bak batu karang yang tegar di tengah himpitan dan kesulitan hidup. Dia
penguat keluarga. Ditinggal suami kawin lagi tak mengecilkan niatnya. Tanpa
kelu dia besarkan dan sekolahkan tiga anaknya. Termasuk mempersiapkan bekal
hidup Irwan, si bungsu, yang kini menempati rumah serta punya angkutan umum
untuk menafkahi keluarganya.
Ruyati
adalah mantera sekaligus doa yang ijabah. Kematiannya tidak sia-sia. Dia
melahirkan gema. Kemanusiaan bela-sungkawa. Dan seorang manusia terhindar dari
nasib serupa. Darsem ditebus pemerintah dengan nilai yang tak terbayangkan
baginya, Rp 4,7 miliar. Ruyati merupakan martir. Tanpa ‘pengorbanannya’ semua
itu muskil terjadi.
Bagi
pemerintah Indonesia, kematian Ruyati ibarat cermin untuk berkaca dan berkaca
lagi. Introspeksi diri agar tidak acuh dan hanya berwacana. Gegabah terhadap
nasib rakyatnya. Sebab berjuta-juta para pejuang devisa itu menyebar di
berbagai negara. Memberi sumbangan negara setidaknya Rp 42 triliun. Diprediksi
meningkat hingga Rp 65 triliun/tahun, tapi perhatian dan apresiasi sejauh ini
amat rendah. Mereka seperti manusia terbuang dan dibuang.
Ini
merupakan kegagalan pemerintah untuk kesekian kalinya. Gagal memenuhi kewajiban
melindungi. Gagal menyediakan pekerjaan bagi warganya. Jika itu mampu
diberikan, tak akan ada yang berkeinginan untuk jauh dari rumah tinggal.
Apalagi harus berkalang tanah di negeri asing yang tak dikenalnya.
Kebijakan
itu hampir pasti tidak mujarab. Sulitnya lapangan kerja di dalam negeri adalah
akar masalah. Murahnya tenaga kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan adalah
soal lain yang membuat aturan itu akan dilanggar. Adakah memang itu harapan
pemerintah? Jika terjadi kasus serupa bisa lempar tanggungjawab? TKI layak
dipersalahkan?
Pemerintah
terkesan instan dalam menanggapi tiap persoalan. Belum ada langkah preventif.
Jika akar masalahnya lapangan kerja dan soal pendapatan, kenapa tidak fokus
untuk all-out membenahi itu. Program-program pemborosan yang koruptif kenapa
tidak distop untuk dialokasikan ke sektor ini.
Banyak kementerian
yang harusnya dihapuskan, seperti Kementerian Sosial yang tidak jelas
pekerjaannya. Transmigrasi tidak perlu ada lagi. Kementerian Koperasi bisa
diarahkan sebagai distributor produk rakyat, membuka swalayan di tiap desa atau
kecamatan untuk membendung dominasi swalayan asing. Dan ini menyerap tenaga
kerja tinggi, selain memberdayakan produk dalam negeri.
Kini masih
ada 26 WNI lagi yang akan menghadapi ancaman serupa. Dan itu baru di Saudi
Arabia. Belum yang tersebar di negara-negara lain. Memang kita malu disebut
sebagai ‘negara babu’. Tapi karena pemerintah tak kunjung berbenah,
memanfaatkan kekayaan negeri ini digunakan mengangkat harkat dan martabat
bangsa ini, maka rasa malu itu menjadi tragic-komedi. Malu tapi mau apalagi
karena terpaksa.
Kini Ruyati
telah tiada. Hujatan dan pujian tak berguna lagi. Hanya doa yang perlu
dipanjatkan. Semoga amal ibadahnya diterima Gusti Allah. Dan mudah-mudahan
pemerintah negeri ini membentuk Satuan Tugas untuk membuka lapangan kerja agar
warga ini tidak berhasrat menjadi TKI. Bukan Satgas Perlindungan TKI yang
terkesan basa-basi.
0 komentar:
Posting Komentar