UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999
TENTANG JAMINAN FIDUSIA
Penulis :
M.
Suhud Macora, SH. MH. Dan A. Aziz, SE. SH
Adalah :
Wartawan Patroli
PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi, sebagai
bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam rangka memelihara dan
meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik
perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan
pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar
dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui
kegiatan pinjaman-meminjam.
Perusahaan Pembiayaan didirikan dalam bentuk Badan
Hukum Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan usaha sewa guna usaha, anjak
piutang, usaha kartu kredit, dan usaha pembiayaan yang memperoleh izin usaha
sebagai perusahaan pembiayaan dari Menteri Keuangan dan berperan aktif sebagai
pelaku Pembangunan Nasional.
Dengan hadirnya perusahaan pembiayaan di suatu daerah,
maka perusahaan pembiayaan berperan aktif dalam :
-
Menyediakan
tenaga kerja bagi daerah itu
-
Memberikan
pembiayaan kepada masyarakat di daerah itu yang membutuhkan dana
-
Menggerakkan
secara cepat roda perekonomian di daerah itu.
B.
PENGERTIAN
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang dimaksud dengan
“Fidusia” adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda”
Bagian ini maksud dari “Fidusia” itu adalah :
-
Pengalihan hak
kepemilikan suatu benda
-
Atas dasar
kepercayaan
-
Dengan
ketentuan
-
Benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda
Bagian ini maksud dari “Fidusia” itu dapatlah
dijelaskan sebagai berikut :
Pada saat ditandatanganinya Perjanjian Jaminan
Fidusia, maka pada saat itulah terjadi pengalihan hak kepemilikan suatu benda
dari pihak pemilik benda kepada pihak penerima pengalihan hak kepemilikan, yang
mana pengalihan hak kepemilikan suatu benda itu terjadi atas dasar kepercayaan
dari kedua belah pihak (pihak pemilik benda dan pihak penerima pengalihan hak),
dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya dialihkan tesebut tetap
dalam pengusaan pihak pemilik benda (pemilik benda yang telah
mengalihkan hak kepemilikannya atas benda tersebut)
Pihak Pemilik Benda disebut pihak Pemberi Fidusia, yaitu pihak yang mengalihkan hak
kepemilikan suatu benda. Sedangkan pihak penerima pengalihan hak tersebut pihak
Penerima Fidusia
Berdasarkan
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang dimaksud dengan “Jaminan Fidusia”
adalah “hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomo 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, yang tetap
berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima
Fidusia terhadap kreditor lainnya”.
Bagian inti maksud
dari “Jaminan Fidusia” itu adalah :
-
Hak jaminan atas
benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
-
Hak jaminan atas
benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan
-
Yang tetap
berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia
-
Sebagai agunan
bagi pelunasan utang tertentu
-
Yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Bagian inti maksud dari “Jaminan Fidusia’ itu dapatlah
dijelaskan sebagai berikut :
Pada saat ditandatanganinya Perjanjian Jaminan
Fidusia, maka pada saat itulah terjadi pengalihan hak kepemilikan suatu benda
dari pihak pemilik benda kepada pihak penerima pengalihan hak, yang mana
pengalihan hak kepemilikan suatu benda itu diikuti
oleh penyerahan hak jaminan atas benda dari Pemberi Fidusia kepada Penerima
Fidusia, dengan ketentuan bahwa benda yang hak jaminannya diserahkan
tersebut tetap berada dalam
penguasaan pihak Pemberi Fidusia, karena benda tersebut adalah benda
yang dijadikan agunan (jaminan) bagi pelunasan utang pihak Pemberi Fidusia
(Debitur) kepada pihak Penerima Fidusia (Kreditur) dan hak jaminan atas benda
tersebut memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
(Kreditur) terhadap Kreditur lainnya.
C.
KONSEKWENSI DARI CIDERA JANJI
1.
Sesungguhnya Eksekusi
terhadap Benda Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia Berawal Dari “Cidera Janji” Yang Telah
Dilakukan Oleh Debitur (Pemberi Fidusia).
Hal Ini Ditegaskan Dalam Ketentuan Pasal 29 Ayat (1)
“ Apabila Debitur atau Pemberi Fidusia Cidera Janji.
Eksekusi Terhadap Benda Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia Dapat Dilakukan”.
Hal ini juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 15 Ayat
(3) :
“ Apabila Debitur Cidera Janji, Penerima Fidusia
mempunyak Hak Menjual Benda Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia Atas
Kekuasaannya Sendiri”.
Penjelasan Resmi Atas
Pasal 15 ayat (2) Menentukan :
“Salah Satu Ciri Jaminan Fidusia Adalah Kemudahan
Dalam Pelaksanaan Eksekusinya, Yaitu Apabila Pihak Pemberi Fidusia Cidera
Janji”.
Berdasarkan dan Berbasiskan serta Berasaskan Penjelasan
Resmi Atas Pasal 21
“Yang Dimaksud Dengan “Cidera Janji” adalah Tidak memenuhi Prestasi, baik
Yang Berdasarkan Perjanjian Pokok,
Perjanjian Jaminan Fidusia, maupun Perjanjian Jaminan lainnya”.
-
Cidera Janji
Cukup Dibuktikan Dengan Lewatnya Tanggal Pembayaran Angsuran Yang Telah
Ditetapkan Sehingga Tidak Diperlukan Lagi Surat Peringatan atau Surat-Surat
Lain Yang Serupa Atau Sejenis
Berdasarkan dan Berbasiskan serta Berasaskan
Penjelasan Resmi Atas Pasal 4
“Yang Dimaksud Dengan “Prestasi adalah Memberikan
Sesuatu, Berbuat Sesuatu, atau Tidak Berbuat Sesuatu, Yang Dapat Dinilai
Dengan Uang”.
2.
Karena
Debitur (Pemberi Fidusia) Telah Cidera Janji, Maka Debitur (Pemberi Fidusia) Wajib Menyerahkan Benda Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia
kepada Kreditur (Penerima Fidusia)
Hal Ini Ditegaskan Dalam Ketentuan Pasal 30
“Pemberi Fidusia
Wajib Menyerahkan Benda Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia Dalam Rangka
Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia”.
3.
Apabila
Debitur (Pemberi Fidusia) Tidak Menyerahkan Benda Yang Menjadi Objek Jaminan
Fidusia, Maka Kreditur (Penerima Fidusia) Berhak Mengambil Benda Yang
Menjadi Objek Jaminan Fidusia.
Hal ini Ditegaskan Dalam Ketentuan Penjelaan Resmi
Atas Pasal 30
“Dalam Hal
Pemberi Fidusia Tidak Menyerahkan Benda Yang Menjadi Objek Jaminan fidusia pada
Waktu Eksekusi Dilaksanakan, Penerima Fidusia Berhak Mengambil Benda Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia
dan Apabila Perlu Dapat Meminta
Bantuan Pihak Yang Berwenang”
D.
KETENTUAN PIDANA
Apabila Kreditur (Penerima Fidusia) Tidak Bisa Mengambil Benda Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia Karena
Benda Tersebut Tiada, Maka Kreditur (Penerima Fidusia)
Melaporkan Ke Pihak Yang Berwenang bahwa Debitur (Pemberi Fidusia) Telah
Melakukan Tindak Pidana Menghilangkan Benda Yang Menjadi Objek Jaminan
Fidusia.
Hal Ini Ditegaskan Dalam Ketentuan Pidana
Pasal 35
“Setiap Orang Yang Dengan Sengaja Memalsukan, Mengubah, Menghilangkan atau Dengan Cara
Apapun Memberikan Keterangan Secara Menyesatkan, Yang Jika Hal Tersebut
Diketahui Oleh Salah Satu Pihak Tidak Melahirkan Perjanjian Jaminan Fidusia, Dipidana Dengan Pidana Penjara Paling
Singkat 1 (satu) Tahun dan Paling Lama 5
(lima) Tahun dan Denda Paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah)
Dan Paling Banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah)”.
-
Berdasarkan Pasal
21 Ayat (4) Huruf a KUHAP, Maka Pelaku Tindak Pidana Pasal 35 Undang-Undang
Fidusia, Yang Diancam Dengan Pidana Penjara Paling Lama 5 Tahun Dapat langsung
DITAHAN.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia menentukan “Ketentuan
Pidana” sebagai berikut :
“Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan atau
menyewakan Benda Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”.
E.
KETENTUAN PERDATA
Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan sebagai berikut :
“Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikat
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan sebagai berikut :
Untuk sahnya suatu Perjanjian Diperlukan empat syarat :
1.
Sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan
3.
Suatu hal
tertentu
4.
Suatu sebab yang
halal
Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan sebagai berikut :
“Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik
(Asas Pacta Sunt Servanda)
F.
PEMBAHASAN
Prof
DR. Abdussalam SIK, SH. MH. Dalam “pendapat
hukumnya” menulis sebagai berikut :
Berdasarkan
Paal 1313, 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas,
jelaslah, teranglah dan nyatalah bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi mereka yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik
oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
Apabila Perjanjian
sudah dibuat secara sah dan Benda yang menjadi agunan bagi pelunasan utang
sudah berada dalam penguasaan pihak Debitur (Pemberi Fidusia), maka penerbitan Sertifikat Jaminan Fidusia
hanyalah untuk “kekuatan eksekutorial” atas eksekusi Benda Yang Menjadi
Objek Jaminan Fidusia.
Prof. DR. Andi Hamzah, SH dalam “pendapat hukumnya” menulis
sebagai berikut :
Jika perjanjian (Perjanjian
Pembiayaan dan Perjanjian Jaminan Fidusia) telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, (Pihak Kreditur (Penerima
Fidusia) dan Pihak Debitur (Pemberi Fidusia)). Dan Barang (Benda) yang
dijaminkan (Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia) telah diterima (oleh Debitur
atau Pemberi Fidusia), maka penerbitan Sertifikat Jaminan Fidusia kemudian hanya
untuk bukti memperkuat perjanjian itu.
Jika Barang (Benda)
dialihkan kepada orang lain, maka bagian inti Delik Pasal 35 itu adalah :
-
Dengan sengaja
-
Memalsukan ,
mengubah, menghilangkan, atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara
menyesatkan
-
Jika hal tersebut
diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan Perjanjian Jaminan Fidusia
Jadi, menjadi alat
bukti penting apakah akan disetujui utang yang dijamin pelunasannya dengan Jaminan
Fidusia itu andaikata sudah diketahui akan dialihkan kepada orang lain Benda
itu tanpa izin tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia (Kreditur).
Jadi, delik dalam
Pasal 35 ini adalah delik formil bukan delik materiel yang harus menimbulkan
akibat.
Ketentuan Pidana
dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia merupakan tindak pidana. Apabila Subjek Hukum sudah memenuhi Unsur
Pasal 35 dan Pasal 36 tersebut, maka Subjek Hukum itu dipidana dengan pidana penjara dan denda
sebagaimana yang sudah ditentukan dalam Ketentuan Pidana dalam Pasal 35 dan
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
G.
KESIMPULAN
Ketentuan Pidana dalam Pasal
35 dan 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah
ketentuan yang mengatur mengenai Perbuatan Tindak Pidana. Dengan demikian, Apabila
Subjek Hukum sudah memenuhi Unsur
Perbuatan Tindak Pidana sebagaimana yang sudah ditentukan dalam
Ketentuan Pidana Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, maka Subjek Hukum
itu dipidana dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Sertifikat Jaminan Fidusia
merupakan salinan dari Buku Daftar
Fidusia yang memuat catatan tentang identitas pihak Pemberi Fidusia dan
Penerima Fidusia ; tanggal, nomor Akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat
kedudukan notaris yang membuat Akta Jaminan Fidusia, data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia; uraian mengenai Benda
Yang Menjadi Objek Jaminan Fidusia.
Tanggal Sertifikat Jaminan
Fidusia merupakan tanggal salinan Buku Daftar Fidusia yang diterbitkan untuk menjamin pelunasan utang pemberi fidusia
sejumlah tertentu berdasarkan
perjanjian pokok (perjanjian pembiayaan) tertanggal sebagaimana yang tercantum
dalam perjanjian pokok (perjanjian pembiayaan), yang dibuat dibawah
tangan dan bermaterai berikut segenap perpanjangan, perubahan, penambahan, dan
pembaharuannya dikemudian hari
dengan nilai penjaminan sejumlah tertentu.
Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia menentukan :
Utang yang pelunasannya dijamin dengan Jaminan Fidusia
dapat berupa :
a.
Utang yang
telah ada
b.
Utang yang timbul
dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu, atau
c.
Utang pada saat
eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan
di atas, maka kami berpendapat bahwa Ketentuan Pidana Pasal 35 dan Pasal 36
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Tetap Berlaku
atau Tidak Gugur walaupun tanggal penerbitan Sertifikat Jaminan Fidusia setelah tanggal perbuatan tindak
Pidana.
PENUTUP
Pembangunan
suatu daerah sangat tergantung pada pembanguan ekonomi, pembangunan ekonomi
memerlukan dana yang besar yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk
pembangunan suatu daerah diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam dana yang
berasal dari perusahaan pembiayaan.
Undang-undang
Nomor 42 Tahun 1999 dibentuk dengan maksud untuk membantu kegiatan usaha dan
untuk memberikan kepastian Hukum kepada para pihak yang berkepentingan.
Apabila
utang Pihak Debitur atau Pemberi Fidusia tidak dilunasi dan Benda Yang
Menjadi Objek Jaminan Fidusia tidak diserahkan kepada Pihak Kreditur atau
Penerima Fidusia, maka Pihak Kreditur atau Penerima Fidusia yang dirugikan
sedangkan apabila utang Pihak Debitur atau Pemberi Fidusia sudah dilunasi
dan BPKB tidak diserahkan kepada Pihak Debitur atau Pemberi Fidusia, maka Pihak
Debitur atau Pemberi Fidusia yang dirugikan.
Pihak
yang dirugikan tentu saja melaporkan ke Pihak Yang Berwenang untuk
mendapatkan Keadilan sebagaimana adagium “ Fiat Justitia Ruat Coelum”
(Keadilan Harus Ditegakkan Walaupun Langit Runtuh)
0 komentar:
Posting Komentar